292 x Dilihat
Transportasi Terintegrasi untuk Semua: Merajut Harmoni dari Solo hingga Seluruh Indonesia
Solo – Kami tiba di Stasiun Solo Balapan pada pagi yang dingin dan basah oleh embun. Matahari belum tinggi. Sinarnya masih temaram, namun stasiun sudah ramai oleh hiruk-pikuk penumpang kereta api antarkota maupun KRL, yang berbaur jadi satu dengan petugas stasiun. Sebagian membawa koper, beberapa berseragam sekolah lengkap dengan ransel di pundak. Pada awal hari di tengah minggu seperti ini, kerumunan penumpang didominasi oleh mereka yang berusia produktif.
Sembari menilik kesibukan pagi dan lalu-lalang penumpang, tanpa sadar penggalan lagu tersohor milik seniman legendaris Didi Kempot pun terngiang di telinga.
Ning stasiun balapan
Kuto Solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku
Liriknya terasa perih, menyiratkan rasa kehilangan dan penantian panjang tanpa kepastian. Namun, tidak seperti romansa cinta tanpa harap yang dikisahkan Didi Kempot, Stasiun Solo Balapan justru menjadi simbol harmoni antar moda transportasi yang terintegrasi, dan membawa banyak asa bagi masyarakat Solo dan sekitarnya.
Dari peron, tampak bentangan skybridge sepanjang hampir 500 meter yang menghubungkan stasiun ini dengan Terminal Tipe A Tirtonadi. Koneksi tersebut memungkinkan penumpang untuk berpindah moda dari kereta api ke bus -atau sebaliknya-, dengan lebih mudah. Melalui skybridge ini, penumpang juga dapat mengakses layanan kereta Kereta Bandara Adi Soemarmo (BIAS) dari dan menuju Bandara.
Integrasi menjadi semakin lengkap karena selain terhubung dengan layanan KA antarkota, KA lokal dan kereta BIAS, Stasiun Solo Balapan juga terintegrasi dengan layanan KRL Yogyakarta–Solo. Sementara itu, selain melayani rute AKDP dan AKAP, Terminal Tirtonadi juga menyediakan layanan Bus Rapid Transit bertarif murah karena subsidi pemerintah, Batik Solo Trans (BST) dan Trans Jateng.
Ah, tak sabar rasanya untuk berkelana menikmati pesona Solo, dengan menumpang transportasi publiknya yang telah terintegrasi ini.
Transformasi Transportasi di Kota Solo
Kota Surakarta atau Solo menjadi salah satu kota perintis dalam membangun sistem transportasi terintegrasi di Indonesia. Meski tidak semasif kota metropolitan seperti Jakarta, upaya pemerintah daerah yang didukung oleh Kementerian Perhubungan menunjukkan kemajuan signifikan dalam reformasi transportasi publik.
Pada acara Temu Komunitas bertajuk “Ngobrolin Transportasi Bareng Komunitas” (LINTAS) yang digelar di Terminal Tirtonadi, Solo, pada Sabtu (19/7), Agus Purnomo, Kepala BLUD UPT Transportasi Dinas Perhubungan Kota Surakarta, mengisahkan bahwa sebelum BST hadir, sistem transportasi di Solo didominasi oleh 15 operator bus dan 373 minibus angkot dengan trayek tumpang tindih.
“Dari pengalaman Bapak kemarin dari tahun 2009, nih, di Solo itu banyak sekali moda transportasi. Khususnya dari otobis dan dari angkot-angkot”, kenang Agus.
Agus melanjutkan bahwa sistem setoran dan ketiadaan Standard Operating Procedure (SOP) serta Standar Pelayanan Minimal (SPM) membuat kebanyakan angkutan umum pada masa itu kerap dikendarai secara ugal-ugalan, bahkan kebut-kebutan, dengan kondisi fisik armada yang seadanya.
Kondisi tersebut akhirnya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi publik dan mendorong penggunaan kendaraan pribadi. Ancaman kemacetan dan penurunan produktivitas kota, membuat Pemerintah Solo bertindak dan mulai melakukan pembenahan.
Pada 2010, transformasi dimulai. Pemerintah Kota Solo, meluncurkan Batik Solo Trans (BST), sebagai langkah awal untuk menata ulang moda angkutan umum yang sebelumnya semrawut.
Bus Batik Solo Trans (BST) merupakan layanan angkutan umum bus sistem transit yang beroperasi di Kota Solo. Layanan ini diresmikan oleh Wali Kota Solo Joko Widodo pada 1 September 2010. Pengoperasian pertama di koridor 1 dengan rute Bandara Internasional Adi Soemarmo -Terminal Palur.
Langkah pembenahan selanjutnya, menurut Agus, dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta pada tahun 2013. Konsolidasi operator dilakukan terhadap 15 operator bus dan ratusan angkot yang beroperasi kala itu.
"Kita jadikan moda transportasi ini satu kesatuan. Otobis kita konsolidasikan ke dalam Batik Solo Trans, sedangkan angkot kita satukan dalam koperasi feeder di bawah naungan TGM," terang Agus.
Ekspansi dan Integrasi Layanan BST
Saat ini, dengan kolaborasi pembiayaan antara Kemenhub dan Pemkot Surakarta, BST hadir melayani 5 koridor utama, didukung oleh 7 koridor feeder. Tarifnya sangat terjangkau, yaitu Rp. 3.700 untuk penumpang umum, dan Rp. 2.000 untuk lansia, pelajar dan penyandang disabilitas. Pembayarannya cashless, tinggal tap kartu e-money atau pindai kode QRIS, mudah dan praktis. Dengan integrasi yang semakin kuat bersama layanan Trans Jateng (provinsi) dan KRL Jogja–Solo, serta titik simpul utama di Terminal Tirtonadi yang terhubung langsung ke stasiun KA melalui skybridge, ekosistem transportasi publik Solo semakin lengkap.
Modernisasi layanan tak hanya menyentuh armada, tetapi juga infrastruktur pendukung. Solo memiliki 88 halte permanen, 221 halte portabel, dan 90 titik bus stop. Fasilitas pedestrian pun dikembangkan agar terintegrasi dengan halte transportasi publik.
"Seluruh armada sudah dilengkapi CCTV untuk menjamin keamanan. Ketepatan waktu juga jadi prioritas kami. Jadwal keberangkatan diatur agar interval layanan tak lebih dari 15 menit," tambah Agus.
Teknologi informasi juga dimanfaatkan melalui sistem manajemen transportasi publik (Public Transport Management System/PTMS) yang mencakup informasi dinamis di halte, integrasi dengan QRIS dan kartu elektronik, serta sistem tarif terintegrasi (90 menit gratis perpindahan antarkoridor).
Menyusun Sistem Transportasi yang Terintegrasi, Lebih dari Sekadar Infrastruktur
Di hadapan warga Solo yang menghadiri acara temu komunitas LINTAS, Dr. Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari MTI, memberikan apresiasi kepada Solo sebagai percontohan nasional dalam integrasi simpul moda. “Solo ini sudah demikian lengkap. Ada BST, feeder, KRL, Kereta Bandara, Trans Jateng. Secara fisik dan rute, Solo jadi referensi integrasi moda di daerah,” sanjungnya.
Akademisi sekaligus dosen Unika Soegijapranata tersebut juga menyebut Solo sebagai model terbaik untuk integrasi transportasi antarmoda di kota menengah. Namun bukan tanpa cela, transportasi di Kota Solo juga menyisakan banyak ruang untuk penguatan dan improvement. Ia lantas menekankan pentingnya sistem tiket terintegrasi dan penyelarasan jadwal antar moda agar integrasi benar-benar "seamless".
Djoko mengemukakan bahwa integrasi tidak cukup hanya fisik. Harus ada satu sistem tiket dan sinkronisasi waktu kedatangan antarmoda. Jadi, meski integrasi jaringan dan jadwal tergolong baik, menurut Djoko aspek pembayaran masih jadi tantangan, karena sistem pembayaran antara BST, Trans Jateng, dan KRL belum sepenuhnya terintegrasi. "Yang belum itu integrasi pembayaran. Masyarakat harus bisa berpindah moda dengan tarif yang tidak mahal dan sistem yang mudah," jelasnya lebih lanjut.
Djoko juga mengingatkan pentingnya konektivitas antarmoda yang menjangkau hingga permukiman dan desa. "Transportasi umum harus mampu menjangkau “first mile” dan “last mile” agar mampu bersaing dengan kendaraan pribadi maupun angkutan daring," tuturnya.
Angkutan Publik: Bukan Hanya Kewajiban Tetapi Juga Investasi
Menurut Djoko, kesuksesan integrasi transportasi tidak hanya bergantung pada infrastruktur, tapi juga ekosistem kebijakan yang berkelanjutan. Ia mencontohkan beberapa daerah seperti Semarang dan Pekanbaru yang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) untuk alokasi 5% APBD bagi angkutan umum.
"Kalau sudah Perda, siapapun kepala daerahnya harus melaksanakan. Ini yang seharusnya didorong di kota-kota lain, termasuk Solo," tandas Djoko. Dengan tegas Djoko menyatakan bahwa membangun transportasi publik bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi juga menjadi investasi.
Senada dengan Djoko, Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda (Dirjen Intram) Risal Wasal menyatakan bahwa Kemenhub terus mendorong peran serta Pemerintah Daerah untuk mengembangkan angkutan umum massal di wilayah masing-masing. Salah satunya dengan menghadirkan angkutan massal bersubsidi dengan skema Buy the Service (BTS) di berbagai wilayah, seperti halnya BST di Kota Solo. Pemerintah pusat membiayai operasional layanan selama dua tahun, sembari membina pemerintah daerah agar dapat mandiri.
“Kita mengadakan BRT untuk angkutan umum massal. Itu memang kita subsidi, tapi tidak selamanya. Kita hanya targetkan dua tahun. Tahun ke depannya mereka harus mampu berdiri,” papar Risal.
“Kita berharap pemerintah-pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi, kabupaten/kota, bisa berpikir sama, bahwa dengan angkutan umum, itu banyak keuntungan-keuntungan yang diperoleh, dari sisi efisiensi, dari sisi waktu, pendapatan, keuangan dan lainnya,” tuturnya kemudian.
Transportasi Terintegrasi untuk Semua
Menyoal integrasi transportasi, dalam berbagai kesempatan, Dirjen Intram Risal Wasal secara konsisten menggarisbawahi urgensi kehadiran transportasi terintegrasi di Indonesia.
Dengan kondisi geografis yang Istimewa -terdiri atas 17.000 pulau dan memiliki wilayah perairan yang teramat luas-, Indonesia membutuhkan sistem transportasi yang mumpuni dan terintegrasi, untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendukung pemerataan pembangunan, termasuk ke daerah-daerah 3TP. Tidak hanya itu, transportasi terintegrasi juga dibutuhkan untuk mengurai kemacetan dan mengurangi polusi di perkotaan, serta menekan biaya logistik nasional.
Risal mengakui bahwa merancang sistem nasional yang terintegrasi di negeri seluas Indonesia bukan perkara mudah. Standar dan kualitas layanan antardaerah masih timpang. Tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal dan teknis yang sama untuk menyelenggarakan layanan angkutan umum yang layak. Risal juga mengungkap bahwa pada kenyataannya memang masih banyak daerah yang belum terintegrasi dan belum terlayani dengan baik angkutan umumnya.
“Makanya, hadir Direktorat Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda (Ditjen Intram), ke depannya untuk memastikan kemudahan masyarakat dalam melakukan perjalanan, baik penumpang, juga barang,” kata Risal
Ditjen Intram sendiri lahir melalui Perpres No. 173 Tahun 2024. Pembentukannya ditujukan untuk menyatukan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan integrasi antarmoda dan multimoda. Kehadirannya merupakan wujud konkret komitmen pemerintah untuk membangun sistem transportasi yang terintegrasi.
Risal menjelaskan bahwa tugas utama Ditjen Intram adalah menciptakan ekosistem transportasi yang seamless, di mana orang dan barang bisa berpindah dari satu moda ke moda lain tanpa repot, tanpa jeda, dan tanpa kehilangan waktu. Konsep integrasi ini tak hanya berlaku di wilayah metropolitan, tetapi harus merata hingga pelosok Nusantara.
“Karenanya, Ditjen Intram ke depan harus memastikan bahwa sistem transportasi yang ada di Indonesia, baik antar dan multimodanya harus seamless, terintegrasi. Bagaimana dia terhubung (connected), terpadu (integrated) dan berkelanjutan (sustained),” tegasnya.
Kebijakan Berbasis Data
Risal menyampaikan pentingnya kebijakan berbasis data untuk merancang sistem transportasi yang efektif. Ia menekankan keutamaan efisiensi, kecepatan, dan kenyamanan sebagai dasar layanan. Pendekatan yang diambil Ditjen Intram Kemenhub juga menempatkan data dan suara masyarakat sebagai fondasi. “Kami bicara dengan data,” tukasnya.
Melalui ruang diskusi publik seperti LINTAS, berbagai kelompok masyarakat, akademisi, dan aktivis transportasi berperan aktif memberikan masukan bagi pengembangan integrasi transportasi di Kota Solo. Dukungan dari komunitas -seperti Forum Diskusi Transportasi Solo, Bike2Work Solo, SSC Solo, Java Train, Indonesian Railway Preservation Society Yk, Transportologi, Bismania Community, PPRBM Solo, SHG Solo, Gekatin Solo, serta Jejak Kota-, menjadi bagian dari penguatan ekosistem transportasi publik di Solo.
“Hari ini kami dengar banyak masukan. Ini semua jadi dasar kami untuk menyusun kebijakan yang tidak hanya bagus di atas kertas, tapi juga terasa di lapangan,” Risal menyambut feedback dari warga Solo yang hadir, dengan hangat.
Evaluasi memang menjadi langkah awal. Ditjen Intram melakukan pemetaan ulang terhadap kondisi transportasi yang sudah ada. Menurut Risal, pihaknya tengah mengevaluasi konektivitas antar simpul transportasi, baik simpul utama (hub) maupun pengumpannya (feeder), dan menelaah apakah layanan yang tersedia saat ini sudah saling mendukung.
Tidak hanya di wilayah metropolitan atau perkotaan, perhatian besar juga diberikan pada wilayah-wilayah 3TP, kawasan pariwisata nasional, pusat pangan, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Di tempat-tempat inilah konektivitas didorong untuk bisa optimal, dan integrasi transportasi bisa menjadi penyokong percepatan pembangunan.
Sebuah Epilog dari Kota Solo
Kami meninggalkan Solo dengan hati riang. Puas rasanya berkesempatan menyambangi keindahan Keraton Surakarta, menjelajahi Pasar Klewer yang otentik, bersantai di Taman Balekambang, hingga menikmati kemegahan Masjid Raya Sheikh Zayed, dengan menumpang bus Batik Solo Trans.
Jaringan BST yang diampu Pemkot Solo bersama Kemenhub ini tak hanya membantu wisatawan -seperti kami- menikmati pesona Solo tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam, tetapi juga menjadi penyokong utama denyut nadi Kota Solo, setiap harinya. Selain menghubungkan berbagai simpul transportasi, armada BST juga menghubungkan berbagai titik strategis kota dan pusat kegiatan warga.
Bus dan feeder berkeliling menyusuri pasar-pasar tradisional yang menggeliat sejak pagi, sekolah dan kampus tempat menimba ilmu, rumah sakit yang menjadi pusat pelayanan kesehatan, hingga pusat perbelanjaan yang menjadi tujuan rekreasi dan konsumsi warga.
Jaringannya tidak hanya berhenti di koridor utama. Layanan feeder-nya menembus pelosok permukiman, menjangkau kawasan-kawasan yang sebelumnya sulit diakses angkutan umum. BST tak hanya memudahkan mobilitas, tetapi juga memperkuat konektivitas sosial dan ekonomi warga Solo, dari pusat kota hingga pinggiran.
Meski masih banyak menyisakan ruang untuk penguatan, Solo membuktikan bahwa kota menengah pun dapat menjadi pionir dalam membangun sistem transportasi yang terus berkembang untuk semakin terintegrasi, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Solo tidak sekadar menghubungkan moda, tetapi juga menyatukan ruang, waktu, dan kehidupan warga. Tersemat sebuah asa, semoga ke depan harmoni transportasi Solo terus melantun merdu, dan melodi serupa bisa dimainkan di berbagai wilayah lain di Indonesia. (DIS/HG/ME/ETD)