7710 x Dilihat
PUTUSAN KPPU TERHADAP MASKAPAI PENERBANGAN DINILAI MEMILIKI BANYAK KELEMAHAN
(Jakarta, 01/07/2010) Putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang memvonis sejumlah maskapai penerbangan nasional melakukan kartel karena melanggar Pasal 5 Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sekat, dinilai memiliki banyak kelemahan dan bahkan dianggap tidak memiliki bukti yang kuat. Hal itu terungkap dalam ”Bedah Kasus Eksaminasi Putusan Perkara No.25/KPPU-I/2009 (Penerapan Fuel Surcharge dalam Industri Jasa Penerbangan Domestik)” yang digelar Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia, di Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis (1/7).
Selain tiga guru besar fakultas ekonomi dan hukum UI serta Universitas Sumatera Utara (USU), Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Herry Bakti S Gumay juga didaulat menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut. Dirjen Herry Bakti yang mendapat giliran terakhir dalam memaparkan pandangan mengungkapkan, dalam perkara ini pihaknya tidak melihat adanya tindakan kartel yang dilakukan sembilan maskapai sebagaimana tertuang dalam putusan KPPU yang dikeluarkan pada 4 Mei 2010 tersebut.
”Kami berpandangan, penetapan fuel surcharge oleh perusahaan penerbangan menurut keadaan yang dihadapi, pada prinsipnya tidak melanggar ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan. Baik dalam Keputusan Menteri Perhubungan No KM 8/2008 tentang Mekanisme penetapan dan Formulasi penghitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi maupun KM 9/2009 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal,” jelasnya.
Dalam kedua kebijakan tersebut ditegaskan, besaran tarif dasar dan tarif jarak ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Kemudian, besaran tarif dasar dan tarif jarak juga dipengaruhi oleh perubahan yang signifikan seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga bahan bakar, atau harga komponen lainnya yang menyebabkan perubahan total biaya pengoperasian pesawat. Selain itu, kebijakan tentang fuel surcharge juga dikenakan apabila harga avtur di lapangan melebihi harga yang ditentukan pemerintah sebagai acuan dasar penghitungan tarif.
Dirjen Herry menambahkan, pada kasus dimaksud, Ditjen Perhubungan Udara berpandangan tidak adanya praktek monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan. Hal itu mengingat fuel surcharge ditetapkan oleh hampir semua airlines dengan formula yang sama berdasarkan pedoman Ditjen Perhubungan Udara, di mana penetapan besarannya ditetapkan sendiri oleh masing-masing maskapai.
Kendati demikian, menurutnya, Ditjen Perhubungan Udara pada prinsipnya menghormati hasil putusan yang telah dijatuhkan KPPU karena masalah ini masuk dalam ranah hukum, serta mendukung sepenuhnya upaya perusahaan penerbangan untuk mengajukan banding terhadap putusan itu. ”Secara umum, penolakan yang dilakukan oleh INACA dan anggotanya yang memutuskan untuk melakukan banding dapat dipahami oleh Ditjen Perhubungan Udara,” ujar Dirjen Herry.
Dikatakan pula, Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat dengar pendapat pada 19 Mei 2010, mengamanatkan Ditjen Perhubungan Udara untuk membantu dan mendukung upaya maskapai dalam upaya pengajuan banding terhadap putusan yang telah dijatuhkan KPPU. Selain itu, menurutnya, DPR juga meminta KPPU untuk memprioritaskan kepentingan bangsa dalam mengeluarkan putusannya. Rapat itu juga menyepakati untuk dilakukannya pembahasan lebih lanjut antara DPR, Ditjen Perhubungan Udara, KPPU, serta perusahaan penerbangan. Targetnya, menjaga kepentingan umum dan efisiensi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mempertimbangkan kepentingan bangsa yang lebih luas, serta menunjang pertumbuhan ekonomi nasional untuk menjaga keutuhan dan kedaukatan bangsa dan negara.
Dalam putusannya, KPPU menuding operator penerbangan terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang No. 5/1999. Sembilan maskapai yang divonis melakukan pelanggaran tersebut dikenakan sanksi berlipat oleh KPPU. Sanksi itu berupa pembayaran denda dan ganti rugi sekaligus dengan nilai yang sangat besar, yang dinilai banyak pihak tak hanya akan mematikan pengembangan usaha maskapai, namun juga mengancam perekonomian nasional.
Kesembilan maskapai itu adalah Garuda Indonesia yang diwajibkan membayar denda dan ganti rugi senilai total Rp 187 miliar, Sriwijaya Airlines (Rp 69 miliar), Merpati Nusantara Airlines (Rp 61 miliar), Mandala Airlines (Rp 36 miliar), Travel Express Aviation Services (Rp 2,9 miliar), Lion Air (Rp 124 miliar), Wings Air (Rp 37,5 miliar), Batavia Air (Rp 65 miliar), dan Kartika Airlines (Rp 2,6 miliar).
Prof. Erman Rajagukguk dalam paparannya mengungkapkan, pertimbangan putusan KPPU seperti yang tertuang dalam putusan itu, masih dapat diperdebatkan dalam pengajuan banding atau kasasi di forum pengadilan umum. Erman mempertanyakan, apakah avtur merupakan satu-satunya komponen pembiayaan ongkos angkut penumpang untuk menetapkan harga tiket pesawat udara. Padahal, komponen operasional pesawat juga dipengaruhi oleh berbagai hal, tidak hanya avtur.
”Dengan demikian, kesimpulan bahwa kenaikan harga tiket pesawat yang menunjukkan trend yang sama, tidak disebabkan satu-satunya oleh fuel surcharge,” tegasnya. Di sisi lain, Erman juga mempersoalkan tidak diambilnya sumpah terhadap saksi-saksi yang didengar dalam pengungkapan kasus ini oleh KPPU. ”Padahal, keterangan saksi harus dibawah sumpah. Jika saksi tidak dibawah sumpah, maka keterangannya tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.”
Pernyataan senada dilontarkan Prof. Ningrum Natasya Sirait, Guru Besar Fakultas Hukum USU Medan. ”Pembuktian fixed pricing (kartel) sebagai pelanggaran terhadap Pasal 5 itu tidak gampang, karena ini adalah kejatahan paling ekstrem dalam persaingan usaha. Sehingga, kalau benar-benar terbukti, tidak ada pembenaran ataupun pembelaan yang dapat dilakukan,” ujarnya.
Namun, Ningrum menegaskan, bukti-bukti yang disertakan KPPU dalam menetapkan putusannya sangat lemah dan dinilainya tidak fair. ”Secara kelimuan pun tidak dapat diterima. KPPU seharusnya mendasarkan tuntutannya pada alat-alat bukti yang sah. Tetapi, KPPU hanya membuktikannya dengan melakukan uji statistik dengan data yang tidak lengkap dan didasarkan pada asumsi KPPU sendiri,” paparnya.
Terlebih, lanjutnya, terkait penetapan denda dan ganti rugi sekaligus kepada perusahaan penerbangan tertuduh. ”Pengenaan ganti rugi itu kan ada syarat, dan harus ada yang menutut. Tetapi perkara inisiatif seperti ini, apa bisa dibenarkan? Sementara KPPU sendiri dalam pedoman yang dibuatnya sendiri menegaskan bahwa perkara inisiatif tidak dikenakan ganti rugi. Ganti rugi haruslah didasarkan pada tuntutan. Sementara dalam kasus ini, siapa yang menutut ganti rugi? KPPU seringkali tidak konsisten terhadap aturannya sendiri,” ungkap Ningrum.
Baik Ningrum maupun Erman, menyatakan sepakat dengan dissenting opinion dari salah satu anggota majelis KPPU, Tri Anggraini, yang menyatakan bahwa ganti rugi yang sifatnya aktual hanya dapat diberikan kepada pihak lain yang dirugikan, di mana pihak lain yang dirugikan dimaksud bukanlah “negara”, sebagaimana tertuang dalam amar putusan KPPU, butir 15.
Sementara Prof. Ine Minara S. Ruky, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI mengatakan,, dari sisi analisis ekonomi, dalam pembuktian kasus kartel, justifikasi bisnis dan ekonomi perlu diberikan. Namun, hasil analisis ekonomi bukan merupakan satu-satunya pertimbangan. ”Dalam kasus kartel, bukti langsung yang menunjukkan adanya kartel tetap diperlukan,” ungkapnya. Dia juga mengatakan, penegak hukum persaingan usaha tidak sama dengan penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim yang menangani perkara pidana atau perdata. ”Walaupun dalam menjalankan fungsinya, para komisioner menjalankan tugas dan fungsi sebagai penyidik, penuntut dan pengambil keputusan,” pungkasnya. (DIP)