4687 x Dilihat
OPERATOR IS ASKED NOT TO INTERFERE WITH CAPTAINS’ INDEPENDENCE
(Jakarta, 30/11/09) Berkaca pada kecelakaan yang menimpa kapal Dumai Ekspres 10 di perairan Kepulauan Riau beberapa waktu lalu, operator pelayaran nasional diminta untuk tidak merusak indepensi nakhoda saat menjalankan tugasnya hanya demi mendapatkan keuntungan semata. Salah satunya contohnya adalah dengan memaksa nakhoda untuk memuat kargo maupun penumpang melebihi kapasitas maksimal.
”Cost-nya (risiko, Red) yang harus dibayar terlalu tinggi. Kita lihat kemarin, berapa ratus penumpang yang harus menjadi korban Dumai Ekspres 10 kemarin, dan berapa yang harus meninggal?” ujar Menhub dalam jumpa pers di kantornya, Senin (30/11).
Menhub menambahkan, nakhoda harus berani bersikap tegas dari pada harus mengorbankan aspek keselamatan jika dirinya mengetahui bahwa jumlah muatan maupun penumpang yang dibawanya melebihi kapasitas atau tidak sesuai dengan manifes.
”Seorang nakhoda harus independen, berani menolak untuk berlayar jika jumlah penumpang atau muatan di atas kapasitas dan tidak sesuai manifes, atau ketika cuaca mengancam keselamatan. Nakhoda juga jangan mau diatur operator. Operator tahunya itu hanya cari untung. Karena jika ada sesuatu, dia orang pertama yang harus bertanggung jawab, bukan Menhub atau Dirjennya. Operatornya juga akan kita kasih hukuman,” tegas Menhub.
Tidak hanya nakhoda, Menhub menambahkan, Kepala Kantor Pelabuhan (Kakanpel) maupun Administrator Pelabuhan (Adpel) di tempat kapal itu bersandar dan bertolak, juga harus memiliki ketegasan yang sama. Menurut Menhub, Adpel atau Kakanpel punya tanggung jawab yang sama, dan mereka juga terancam terkena sanksi apabila terbukti ada pelanggaran yang terjadi di bawah pengawasannya.
”Adpel atau Kakanpel adalah orang yang mengerti benar soal standar dan aturan keselamatan ini, juga tentang cuaca. Karena itu mereka pasti tahu kalau ada pelanggaran,” sambung Menhub.
Menhub mengakui bahwa untuk bersikap tegas di lapangan bukanlah pekerjaan yang ringan dan mudah untuk dilakukan serang nakhoda, Adpel maupun Kakanpel. Ada dilema tersendiri, di mana masyarakat suka memaksakan nakhoda untuk tetap berlayar meski sudah diberitahu bahwa kapal kelebihan muatan atau cuaca buruk. Bahkan mereka juga kerap mendapat tekanan dari perusahaan untuk terus melakukan pelayaran. Tapi, menurut Menhub, itu risiko dan tantangan bagi seorang nakhoda. Tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas jika ada hal yang mengancam keselamatan.
”Memang, masyarakat pasti ada yang marah kalau kapal tidak jadi berangkat. Tapi, kalau mereka terus memaksa, suruh saja mereka yang kemudikan kapalnya dan nakhodanya turun dari kapal. Tapi, kebanyakan nakhoda tidak berani melakukan itu. Budaya disiplin terhadap keselamatan yang masih lemah ini yang harus dibenahi,” papar Menhub.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Sunaryo mengungkapkan bahwa menurut pengakuan nakhoda kapal Dumai Ekspres 10 yang selamat, diketahui bahwa jumlah penumpang yang dibawanya melebihi kapasitas. Nakhoda kapal nahas itu juga mengungkapkan tentang adanya aktivitas penjualan tiket di menit-menit terakhir kepal akan meninggalkan pelabuhan. Aktivitas ini yang diduga kuat menjadi penyebab terjadinya perbedaan fakta jumlah penumpang dan manifes kapal.
Menhub menambahkan, kecelakaan yang dialami Dumai Ekspres 10 juga sempat menjadi sorotan perwakilan negara-negara peserta sidang ke-26 Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang dihadirinya di London, Inggris, belum lama ini. Kenyataan itu dikhawatirkan dapat menghambat proses pencalonan kembali Indonesia menjadi anggota salah satu Dewan IMO.
”Tapi untungnya tindakan penyelamatan yang dilakukan bisa maksimal, sehingga jumlah korban yang bisa diselamatkan pun sangat banyak. Jadi, kita tetap bisa terpilih jadi anggota Dewan IMO. Sekjen IMO, Mr. Efthimios Mitropoulos, dan delegasi negara lain merespons baik terhadap aksi Tim SAR kita. Mereka berharap kecelakaan itu murni akibat cuaca, bukan karena human error,” pungkas Menhub. (DIP)