8714 x Dilihat
OP TANJUNG PRIOK TERAPKAN TARIF PINALTI UNTUK ATASI KEPADATAN
(Jakarta 18/2/2012) Pemerintah akan menjaga layanan keluar masuk barang di Pelabuhan Tanjung Priok berjalan lancar dan terhindar dari kongesti, akibat meningkatnya muatan yang keluar masuk. Salah satu caranya sejak awal Januari tahun ini menerapkan tarif pinalti, bagi peti kemas impor yang tidak dikeluarkan dari terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, jika sudah mendapatkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB).
Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, Sahat menyatakan pemerintah berperan untuk mengawasi kegiatan di pelabuhan agar berjalan lancar. Namun, tahun lalu terlihat di terminal peti kemas impor di Pelabuhan Tanjung Priok, cepat sekali padat. Setelah dilakukan pengkajian, salah satu penyebabnya adanya peti kemas impor yang tidak dikeluarkan oleh pemiliknya, meski sudah mendapatkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SP2B) dari pihak Bea Cukai.
“Untuk itu kami mendorong agar pihak pelabuhan membuat tarif pinalti terhadap peti kemas yang tidak dikeluarkan itu,” ujar Sahat, di Jakarta (17/2).
Upaya mendorong terbentuknya tarif pinalti pun berlangsung. Pihak pelabuhan dan asosiasi pengguna jasa di Pelabuhan Tanjung Priok setelah melalui berbagai pembahasan, akhirnya menyepakati adanya tarif pinalti. Penerapan tariff pinalti pun dilakukan sejak tanggal 2 Januari tahun 2012.
Sejak berlakuknya tarif pinalti, pemilik barang cepat-cepat mengeluarkan peti kemas dari lahan penumpukan peti kemas di lini I terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok, setelah mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Sebab, jika pemilik peti kemas tersebut tidak mengeluarkannya setelah lima 5 hari, sebagai batas waktu penumpukan di dalam terminal itu, dan telah menerima SPPB maka peti kemas yang masih di dalam terminal tersebut dikenakan tarif pinalti. Besaran tarif pinalti nilai mencapai antara 200 sampai 300 % dari tarif normalny
“Jika dikenakan tarif pinalti, maka beban biaya penumpukan yang harus dibayarkan pemilik barang sangat tinggi, sehingga pemilik peti kemas impor setelah menerima SPPB langsung mengeluarkan peti kemasnya,” ungkap Sahat.
Atas penerapan tarif pinalti itu, tambah Sahat, pemerintah juga memperhatikan kepentingan pemilik barang. Agar pemilik barang tetap mendapatkan lahan penumpukan, maka pihak pelabuhan melakukan kerjasama dengan pihak lahan penumpukan peti kemas di luar pelabuhan, seperti di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan depo-depo milik sawsta lainnya.
"Dengan begitu pemilik peti kemas bisa menaruh peti kemasnya di depo-depo di luar pelabuhan, sampai barang yang ada di dalam peti kemas itu diambil oleh pemilknya. Jadi tidak ada yang dirugikan,” ungkap Sahat.
Sebelumnya pihak pelabuhan mengalami kesulitan mengarahkan peti kemas impor yang sudah mendapatkan SPPB itu dikeluarkan dari terminal. Pemiliknya lebih suka menumpuk di terminal tersebut, meski terkena biaya tambahan, yang terbilang kecil.
“Karena itu, terminal peti kemas di pelabuhan menjadi cepat padat, karena adanya peti kemas yang tidak dikeluarkan oleh pemiliknya,” ungkap Sahat.
Kini, tingkat kepadatan pun semakin turun karena tidak ada penumpukan peti kemas dalam waktu yang lama Diperkirakan tingkat kepadatan (YOR) mencapai 60 persen rata-rata setiap hari di luar waktu padat, dari sebelumnya yang bisa mencapai 80 sampai 90 persen.
Antisipasi Kalibaru
Lebih jauh Sahat menyatakan upaya menjalankan tarif pinalti bagi operator terminal peti kemas merupakan salah satu upaya agar pelabuhan Tanjung Priok mampu melayani peningkatan muatan yang berlangsung setiap tahunnya. Upaya lainnya yang dilakukan dengan mengoptimalkan lahan di pelabuhan yang sampai saat ini belum dimanfaatkan, seperti mengupayakan pembangunan lahan penumpukan peti kemas baru di bekas lahan yang belum dimanfaatkan, diantaranya di bekas lahan galangan Inggom yang akan dibangun oleh pihak PT Multi Terminal Indonesia (MTI).
Selain itu juga merelokasi bangunan yang ada di dalam pelabuhan. Sejumlah bangunan yang sebelumnya berdiri sebagian sudah dipindahkan untuk dijadikan lahan penumpukan.
Keberhasilan menurunkan kepadatan di terminal peti kemas juga sebagai langkah antispasi manakala pembangunan terminal peti kemas Kalibaru tidak memenuhi jadwal yang ditetapkan, yakni pada tahun 2014 sudah dioperasikan.
“Dengan begitu peningkatan kepadatan barang di pelabuhan Tanjung Priok bisa teratasi, meski terminal yang menjadi solusi mengatasi kepadatan belum dioperasikan pada tahun 2014,” ungkap Sahat.
Terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok mempunyai kapasitas tampung peti kemas sebanyak 6 juta Teus. Saat ini sudah melampaui batas kapasitas tampung yang tersedia yakni 5,6 juta Teus.
“Jadi peran pemerintah mendorong agar pihak operator melakukan upaya optimalisasi kinerjanya, sehingga terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok tetap mampu melayani muatan yang keluar masuk,” ungkap Sahat. (AB)