10592 x Dilihat
Look behind the ISPS Code implementation at Koja TPK
MAKAM YANG MENGUBUR STANDAR KEAMANAN
“Tak ada gading yang tak retak,” demikian bunyi salah satu pepatah yang sudah dikenal dan diketahui publik sejak lama di Indonesia.
Pepatah itu untuk menggambarkan bahwa betapa segala sesuatu di dunia ini tak ada yang sempurna, termasuk di sini adalah upaya oleh Manajemen PT Terminal Petikemas (TPK) Koja untuk menjadikan terminal itu masuk dalam kategori fasilitas terminal pelabuhan di Indonesia yang sudah mengimplementasikan standar keamanan ISPS Code secara penuh.
Namun, apa yang terjadi? Ketika tim dari US Coast Guard berkunjung ke TPK itu pada 24 Agustus 2007, ternyata pada hari yang bersamaan, jalur masuk ke TPK Koja sedang didatangi ratusan orang. Mereka tak lain adalah para jemaah yang sedang melakukan “haul” (peringatan) terhadap leluhur, dengan mengunjungi makam seorang habib di sekitar TPK Koja tersebut yang menurut sementara pihak, adalah pembawa Islam pertama ke Jakarta. Meski sampai saat ini, tak ada literatur yang menyatakan bahwa daerah tersebut adalah situs budaya yang layak dipertahankan, ternyata kedatangan ratusan orang tersebut menjadi gangguan dalam penilaian. Paling tidak, mulai akses pintu masuk ke pintu makam yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari pintu TPK Koja yang merupakan lini I yang cukup vital. Karena itu, terbitlah hasil assessment visit USCG bahwa TPK Koja dimasukkan ke dalam kategori Facilities Not Significantly Implementing The ISPS Code oleh US Coast Guard. “Temuan itu secara tegas menyatakan bahwa jalur masuk ke makam dan TPK Koja menjadi satu,” kata Kabid GAMAT Adpel Priok, Panji Nirwana yang juga sebagai salah satu Port Security Officer (PSO) Pelabuhan Tanjung Priok untuk implementasi ISPS Code.
Pandangan sekilas kami dari kejauhan memperlihatkan, makam itu terlihat suram. Cat putihnya sudah mengelupas di beberapa bagian. Tak jauh dari situ, terdapat masjid bercat hijau yang sehari-hari tampak sepi. Menara di samping masjid setinggi 7 meter sudah tak sedap lagi dilihat, karena kotor oleh debu dan cat sudah rontok. Kondisi itu, pernah diakui oleh Kepala Administrasi Pelabuhan (Adpel) Tanjung Priok, Bobby R Mamahit sebagai situasi yang serba salah, meski keberadaannya mengganggu. Sebagian laporan menyebutkan, makam keramat itu tak bisa digusur atau dibiarkan dipelihara oleh mereka yang mempercayainya. Akibatnya, banyak warga keluar-masuk terminal. "Susah kalau sudah soal kepercayaan. Dibiarkan saja. Tapi ya itu, terminal menjadi tidak steril," kata Bobby suatu ketika. Faktanya, bisa ditebak yakni tidak gampang menghadapi situasi seperti itu. Apalagi, ketika berhadapan dengan urusan kepercayaan yang menjadi komoditas “mahal'” dan ongkos sosial yang tidak sedikit.
Selain suram ternyata situasi di daerah makam tersebut juga mengundang “keseraman”. Setidaknya itu yang dialami penulis ketika mencoba melihat lokasi tersebut beberapa waktu lalu, sejumlah pemuda bersarung dan berpeci putih, sudah bersiang menghadang kami. “Ada apa bapak datang ke sini? Tanya salah seorang di antara 3-4 pemuda yang menghampiri kami, ketika kaki kami terlanjur masuk beberapa meter di kawasan itu. “Bapak jangan coba-coba menantang lagi, kami. Sudah ada korban tewas dan ditikam beberapa waktu lalu,” kata pemuda itu menyerocos dan tak peduli dengan jawaban kami melalui bahasa tubuh yang tenang.
Kami berusaha menenangkan bahwa kedatangan kami tak ada urusan dengan persoalan sengketa tanah dan sebagainya. Kami cuma melihat dan sedang melakukan tugas liputan. Di antara mereka rupanya tahu bahwa kami tadi telah mengambil beberapa jepretan gambar dengan tustel digital. Eh, mereka membalasnya dengan mengambil gambar kami. Entah apa maksudnya. Lalu kami meninggalkan kerumunan itu segera karena situasinya tidak bersahabat, mereka benar-benar menjaga ketat kawasan itu.
Faktor Lain
Selain masalah makam yang akhirnya “mengubur” standar keamanan tersebut, temuan US Cost Guard juga menyebutkan bahwa Port Facility Security Plan (PFSP) belum direvisi, pemeriksaan ID Card belum dilaksanakan secara maksimal, lalu lintas menuju TPK Koja perlu diatur lebih maksimal dan masih banyak kendaraan yang belum teridentifikasi lalul lalang dan berkeliaran di dalam terminal. Oleh karena itu, segera Kabid Gamat Kantor Adpel Tg. Priok dan Adpel Tg. Priok yang selaku Port Security Commiter (PSC) telah melayangkan surat kepada Dirut TPK Koja yang intinya berisi bahwa penilaian tersebut bukan merupakan hambatan akan tetapi merupakan motivasi perbaikan dan peningkatan dalam melaksanakan ISPS Code di TPK Koja.
Dirut TPK Koja Sebulon Butarbutar yang ditemui di kantornya pada 27 Maret lalu menjelaskan bahwa tidak semua hasil temuan yang dilakukan oleh US Coast Guard itu berada di wilayah kerja TPK Koja. “Jalur masuk ke kawasan ini masih lini II dan “gate'-nya dikelola oleh PT Pelindo II dan keberadaan makam yang yang status tanahnya masih dalam proses sengketa itu berada di lahan milik PT JICT (Jakarta Internasional Container Terminal),” katanya. Hanya saja, pintu masuk makam itu berhadapan langsung dengan akses menuju TPK Koja. “Letaknya memang puluhan meter saja di depan pintu TPK. Ini yang mengganggu pemandangan jika pada hari tertentu ada kerumunan orang atau pengunjung makam,” kata Sembolon.
Untuk itu, tegas Sembolon, pihaknya telah melakukan beberapa perbaikan fisik seperti merevisi Post Facilities Security Plan (PSFP) perbaikan bangunan security control centre, melengkapi dan menambah alat identitas orang dan kendaraan (ID Card, rompi, stiker) dan perlengkapan kendaraan (detector dan mirror inspection), menambah jumlah petugas keamanan sebanyak 32 orang, melaksanakan trainning, dan pelatihan sesuai kebutuhan serta memperbaiki seluruh security perimeter (gate, pagar, kawat baja dan lain-lain) dengan biaya seluruhnya sekitar Rp1,5 miliar. Sedangkan upaya untuk menertibkan pengunjung makam misalnya akan dibangun jalan khusus ke makam itu dan pengunjung akan diberi ID Card khusus (ES/SG/BRD)