5469 x Dilihat
Kemenhub Tawarkan Dua Pilihan pada Grab Car dan Uber
JAKARTA - Kementerian Perhubungan sebagai regulator menawarkan dua opsi pada Grab Car dan Uber sebagai solusi pengaturan langkah-langkah selanjutnya antara angkutan umum/taksi konvensional dengan angkutan umum/taksi berbasis aplikasi. Hal tersebut disampaikan Plt Dirjen Perhubungan Darat Sugihardjo dalam jumpa pers bersama perwakilan Uber Indonesia, perwakilan Grab Car, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dan Ketua DPP Organda di Kantor Kementerian Perhubungan Jakarta, Rabu (23/3).
Sugihardjo menjelaskan pengoperasian Uber dan Grab Car bertentangan dengan angkutan resmi dalam trayek yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Angkutan umum dalam trayek berbentuk taksi maupun rental diatur dalam Undang-Undang sehingga termasuk kompetitor. Dengan memperhatikan seluruh pasal dalam Undang-Undang kami mengatakan operasi Uber dan Grab Car adalah ilegal,” tegas Sugihardjo.
Lebih lanjut, pemerintah menawarkan solusi kepada kepada Uber dan Grab Car. “Kami juga telah menanyakan kepada Uber dan Grab, pilihannya adalah sebagai operator angkutan atau IT provider/penyedia jasa aplikasi. Apabila mengajukan diri sebagai perusahaan angkutan maka harus tunduk pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009. Syaratnya harus berbadan hukum dan kendaraannya terdaftar. Kalau sebagai taksi harus pakai argometer dan tarifnya ditetapkan pemerintah. Kalau sebagai rental mobil juga dimungkinkan dengan plat hitam dan tanda khusus dari Kepolisian. Karena semua angkutan umum harus terdaftar baik kaitannya dengan uji KIR maupun aspek pengamanan. Pengemudi juga harus memiliki SIM A atau B umum, “ jelas Sugihardjo.
Selain itu, Sugihardjo menambahkan kalau memilih sebagai penyedia jasa IT juga diperbolehkan tetapi harus bekerjasama dengan perusahaan angkutan umum resmi yang sudah terdaftar misalnya kerjasama dengan perusahaan taksi yang tidak memiliki aplikasi. “ Di Grab kan ada Grab Taxi itu silahkan saja dan tidak melanggar,” lanjutnya.
Sugihardjo juga menyampaikan polemik lain yang berkembang di lapangan adalah persoalan taksi/angkutan umum konvensional versus berbasis aplikasi. Selain itu, Kemenhub mengambil sikap berbeda antara aplikasi online yang diterapkan pada Uber /Grab Car dengan aplikasi yang diterapkan pada Gojek/Grab Bike. “Disini bukan persoalan angkutan umum konvensional atau berbasis aplikasi. Perkembangan aplikasi merupakan keniscayaan dan harus didorong sehingga membantu masyarakat.
Perbedaan sikap antara aplikasi IT yang diterapkan pada ojek atau sepeda motor tidak termasuk angkutan umum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang. Fakta yang terjadi di lapangan karena angkutan umum yang ada belum bisa menjangkau semua wilayah dan jika menjangkau jam operasional tidak sepanjang waktu sehingga ojek bersifat komplimen (mengisi kekosongan) angkutan umum resmi dan masuk dalam grey area,” jelas Sugihardjo.
Sugihardjo juga mengatakan Kemenhub, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Organda, Uber, dan Grab sama-sama menyayangkan aksi unjuk rasa yang menimbulkan korban serta menghambat perjalanan masyarakat. “Untuk itulah, kami semua disini sepakat untuk bersama menahan diri, tidak berpolemik yang menimbulkan suasana tidak kondusif di lapangan,“ kata Sugihardjo.
Senada dengan Sugihardjo, Legal Manager Grab Indonesia Teddy Antono menyatakan keprihatinannya atas aksi unjuk rasa yang menimbulkan korban. Perusahaan Grab juga berkomitmen untuk mendorong mitra-mitranya untuk mendapat perizinan sebagai angkutan umum. “Kami percaya kepada pemerintah dan siap bekerjasama dengan pemerintah untuk mencegah polemik, “ kata Teddy.
Komisaris Uber Indonesia Denny Sitadi juga berkomitmen mengikuti semua aturan pemerintah dan akan mengevaluasi bisnisnya dengan tetap meminta bimbingan dari Kemenhub.
Selain itu, Ketua DPP Organda Adrianto Djokosoetono menyatakan permohonan maafnya atas unjuk rasa yang berakhir anarkis. “Organda bersama Uber dan Grab akan berusaha mencari solusi terbaik, “ tutup Adrianto. (ARI)