13406 x Dilihat
KEBIJAKAN PENETAPAN TARIF SELALU DIHADAPKAN PERMASALAHAN KOMPLEKS
(Jakarta, 15/7/2010) Kecermatan pemerintah sangat dibutuhkan dalam menetapkan kebijakan tarif angkutan umum. Karena pengeluaran masyarakat untuk biaya transportasi di kota-kota besar di Indonesia ini sangat tinggi yaitu sekitar 25-30% dari jumlah pendapatan dibandingkan dengan Singapura yang hanya sekitar 7% dan Jepang 8%. Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Perhubungan, Ir. L. Denny Siahaan, Ms. Tr. saat membuka acara Round Table Discussion (RTD) di Ruang Rapat Badan Litbang di Jakarta, Kamis (15/7).
Dalam RTD yang bertema “Tinjauan Terhadap Formula Tarif dan Biaya Pokok Angkutan Umum Berdasarkan Kondisi Lapangan dan Regulasi Saat Ini”, Denny menjelaskan bahwa sasaran utama Pemerintah dalam mengendalikan tarif adalah untuk menyeimbangkan kepentingan operator yang menginginkan keuntungan semaksimal mungkin dengan pengguna jasa angkutan yang menginginkan pelayanan sebaik mungkin dengan tarif yang terjangkau.
Namun demikian, Denny mengakui bahwa penetapan kenaikan tarif ini bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan dengan kondisi angkutan umum saat ini karena pengguna angkutan umum mengalami penurunan daya beli. Denny khawatir kenaikan tarif tersebut berpengaruh terhadap aktifitas sosial-ekonomi. “Dengan turunnya data beli masyarakat dan kenaikan tarif akan memperlebar kesenjangan yang dapat mempengaruhi kelangsungan aktifitas sosial-ekonomi”, jelasnya.
Oleh karena itu, Denny menjelaskan bahwa ada kemungkinan pemerintah menetapkan tarif dibawah BOK (Biaya Operasi Kendaraan) dengan memberikan subsidi kepada operator. BOK atau Vehicle Operating Cost (VOC) adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan untuk penyediaan jasa angkutan yang dihitung secara full cost.
Komponen Biaya Pokok Angkutan Perlu Dikaji Ulang
Sesuai dengan Keputusan Menteri No. 89 Tahun 2002, komponen biaya pokok angkutan dibagi menjadi biaya langsung dan tidak langsung. Yang termasuk biaya langsung adalah biaya penyusutan, biaya bunga modal, biaya awak bus, biaya BBM, biaya ban, biaya pemeliharaan kendaraan, biaya terminal, biaya PKB, biaya keur kendaraan, dan biaya asuransi. Sedangkan yang termasuk dalam biaya tidak langsung adalah biaya pegawai kantor dan biaya pengelolaan.
Muhammad Izi, Peneliti Madya dari Badan Litbang yang menjadi salah satu pembicara pada RTD menyatakan bahwa komponen penentu biaya pokok angkutan tersebut perlu ditinjau kembali. Salah satu alasannya adalah karena komponen biaya penyeberangan tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya pokok. “Padahal pada kenyataannya biaya penyeberangan ini secara riil masuk dalam perhitungan harga tiket untuk trayek bus AKAP yang harus melewati lintasan penyeberangan,” paparnya.
Alasan lain menurutnya adalah adanya kenaikan dan penurunan harga BBM, usia ekomonis kendaraan 5 tahun yang perlu ditinjau kembali, biaya ban kendaraan,dan load factor di lapangan yang bervariasi karena jumlah tempat duduk dalam kenyataan berbeda.
Senada dengan Muhammad, Ir. J. Widiatmoko, MsTr (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Darat) selaku moderator pada diskusi ini menyimpulkan bahwa memang perlu ada penyesuaian pada komponen-komponen penghitungan tarif. “Penyesuaian komponen tersebut untuk menyesuaikan tarif sehingga kenaikannya dapat dikendalikan. Nantinya dapat membatasi jumlah kendaraan bermotor khususnya sepeda motor,” jelasnya.
Pembicara lain pada diskusi ini adalah Wahyudi Pramono, Kasubba Pentarifan dan Pelaporan Laut Biro Perencanaan Setjen Kemenhub; Ir. Hotma P. Simanjuntak, MsTr., Kasubdit Angkutan Jalan Dit. LLAJ Kemenhub; dan Ir. Andriyansah, Sekjen DPP Organda. Hadir pula sebagai pembahas adalah Bagus Wisanggeni, Direktur Usaha Perum DAMRI; Sudaryatmo, Ketua Harian YLKI; Yogi Indrajit, Koordinator Kelompok Kerja Purnajual Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia-GAIKINDO; Dedi Sofyan, Kasi Iuran Wajib PT. Jasa Raharja (Persero); Agus Suprapto, Kasi Angkutan Dalam Trayek Dishub Kota Bogor; dan Drs. NM. Teweng (Pakar Transportasi). (RY)