7534 x Dilihat
JADIKAN TERMINAL SEBAGAI BENTUK LAYANAN, BUKAN SUMBER PAD
(Jakarta, 28/02/2012) Kementerian Perhubungan sedang mewacanakan kemungkinan memberikan subsidi kepada Dinas Perhubungan Kabupaten/Kotamadya sebagai pengganti dari penerimaan uji kelayakan kendaraan (kir) maupun restribusi pendapatan daerah dari terminal, sehingga Dinas Perhubungan di daerah bisa lebih konsentrasi pada peningkatan keselamatan transportasi jalan.
Sebagai langkah awal, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub minta kepada seluruh Dinas Perhubungan Propinsi di seluruh Indonesia untuk mendata, berapa besar pendapatan Dishub dari hasil kir maupun dari hasil restibusi. Dari laporan tersebut akan dilakukan pembahasan dan pengkajian dilapangan untuk menentukan berapa besar subsidi yang akan diberikan.
‘’Kedepan Dinas Perhubungan tidak perlu lagi cari uang dari hasil uji kir kendaraan maupun pendapatan dari restribusi, karena akan kita ganti (subsidi) berapa pendapatan dari dua sektor itu setiap tahunnya. Tugas Dinas Perhubungan adalah melakukan uji kir yang benar sesuai dengan standar operation prosedur (SOP) maupun menertibkan terminal,’’ kata Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Suroyo Alimoeso pada acara “Pengarahan Dirjen Perhubungan Darat Dalam Rangka Meningkatkan Keselamatan Jalan” di Kantor Menterian Perhubungan, Selasa (28/2).
Suroyo sering mendapat keluhan masukan dari banyak pihak tentang perilaku Dinas Perhubungan di daerah yang sering melanggar ketentuan yang telah digariskan pemerintah pusat. Misalnya soal kir. Banyak pengusaha, saat uji kir hanya membawa satu mobil yang akan di kir dan setumpuk buku kir. Pemeriksaan hanya formalitas saja, dan kemudian buku kir langsung di stempel dan di tandatangani sebagai tanda lulus uji. “Diselesaikannya dengan amplop,’’ sindir Suroyo.
Begitu juga perilaku Dinas Perhubungan di terminal. Aturan yang baku adalah, begitu bus masuk ke dalam terminal, sopir menyerahkan persyaratan administarsi seperti buku kir, SIM, STNK dan sebagainya. Setelah dilakukan pemerikasaan, dalam kurun waktu yang sudah ditentukan bus harus keluar dari terminal.
Tapi kenyataannya, setelah dikasih “salam tempel”, bus bisa parkir di tempat itu melebihi batas waktu yang ditentukan. Akibatnya menimbulkan antrian dan kemacetan di dalam dan luar terminal. ‘’Terminal harusnya menjadi tempat pelayanan, bukan tempat cari tambahan,’’ tambah Suroyo menyesalkan sikap sejumlah Pemda yang menjadikan uji kir dan terminal sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bukan pelayanan.
Suroyo tidak membantah masih adanya praktek-praktek pungutan liar di terminal. Namun ia kembali menegaskan, meragukan data Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang menyebutkan angka pungli di sector transportasi mencapai Rp 25 triliun. ‘’Saya akui pungli masih ada di terminal, dan belum bersih betul. Tapi angkanya ya nggak segitu lah,’’ ujarnya.
Dinas Perhubungan, lanjut Suroyo seharusnya memberikan bantuan kepada pengusaha otobus di daerah, misalnya dengan memberikan arahan bagaimana me-manage perusahaan yang baik dan benar. Kepada pengusaha yang mencoba berbuat nakal misalnya penggunaan suku cadang yang abal-abal untuk menekan biaya, harus diingatkan bahayanya. ‘’Bukan sebaliknya malah memeras pengusaha yang melakukan kesalahan,’’ tukas Suroyo.
Untuk mengetahui sejauh mana kepedulian pemerintah daerah terhadap terminalnya dan sejauh mana layanan pemda terhadap masyarakat di terminal, Suroyo mengajak Ketua Umum DPP Organda Eka Sari Lorena untuk melakukan sidak ke sejumlah terminal, mulai dari ruang tunggu penumpang, lajur bus dalam kota, antar kota dan angkutan pedesaan, maupun toiletnya. ‘’Terminal yang memberikan rasa aman dan nyaman pada calon penumpang dan toiletnya bersih akan saya berikan bantuan dana untuk perbaikan atau penambahan fasilitas,’’ kata Suroyo. (PR)