2194 x Dilihat
Indonesia Dijadikan Model di Konferensi ICAO
(Jakarta, 22/3/2013) Indonesia dijadikan contoh model pengelolaan dan pembuatan kebijakan dalam industri penerbangan nasional oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Indonesia yang awalnya memiliki permasalahan yang cukup banyak dan kompleks pada kebijakan maupun industri penerbangannya, secara bertahap berhasil menunjukan kemajuan yang sangat signifikan.
‘’Banyak kebijakan-kebijakan yang sudah kita lakukan, baik di sisi regulator maupun operator, yang pada akhirnya membawa kebaikan dan kemajuan pada industri penerbangan nasional,’’ kata Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dari Montreal Kanada dalam video conference dengan wartawan yang berada di Kementerian Perhubungan, Kamis (21/3).
Kemajuan-kemajuan yang dicapai Indonesia tertuang dalam 2 buah information paper mengenai perkembangan industri penerbangan di Indonesia yang disampaikan oleh Wamenhub pada acara ‘’The 6th Worldwide Air Transport Conference’’ yang berlangsung di Montreal, Kanada pada 18-22 Maret 2013.
Dalam dua information paper tersebut dilaporkan, pertumbuhan jumlah penumpang di Indonesia yang meningkat signifikan, pengembangan dan fasilitas bandara-bandara di Indonesia yang terus dilengkapi dengan berbagai sistem dan peralatan yang mutakhir dan tentunya sejumlah regulasi yang berpihak pada konsumen. ‘’Keberhasilan Indonesia ini oleh ICAO akan dijadikan model untuk diterapkan di negara-negara lain,’’ tukas Wamenhub.
Selain menyampaikan perkembangan industri penerbangan di Indonesia, Bambang yang didampingi Duta Besar RI untuk Kanada Dienne Dhardianti Mohario, Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murdjatmojo, Indonesia juga menyampaikan 3 buah working paper yang berisikan pandangan, saran dan masukan kepada ICAO untuk dijadikan kesepakatan seluruh negara.
Seperti disampaikan Djoko, salah satu contoh adalah mengenai akses pasar, dimana usulan Indonesia adalah, airlines dapat kesempatan yang sama untuk masuk ke negara lain, ada kesamaan prosedur, tata cara dan persyaratan. ‘’Kita minta ICAO untuk merumuskan, jangan sampai ada perbedaan airlines dari negara yang satu dengan negara lainnya,’’ ujar Djoko.
Sementara itu untuk perlindungan konsumen di dalam negeri, kita selangkah lebih maju dibandingkan maskapai asing lainnya. Kita memberikan kompensasi kepada pengguna jasa apabila terjadi keterlambatan penerbangan, uang pengganti bilamana terjadi kecelakaan. Namun untuk maskapai nasional yang terbang ke luar negeri, Indonesia memang belum melakukan ratifikasi. ‘’Kita minta bantuan ICAO untuk memberikan masukan, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi di Indonesia,’’ ujarnya.
Pandangan lain dari Indonesia adalah mengenai kepemilikan saham airlines. Aturan di Indonesia, maskapai penerbangan kepemilikan oleh asing maksimal 49 persen sedangkan sisanya yang 51 persen mutlak dimiliki pengusaha atau badan usaha nasional. Tapi di luar negeri ada juga yang tidak mengatur kepemilikan saham. Demikian juga dengan posisi direksi dan komisaris. ‘’Indonesia ingin ICAO merumuskan yang nantinya hasil rumusan tersebut digunakan di seluruh negara di dunia,’’ tambah Djoko. (JO)