Biro Komunikasi dan Informasi Publik - Rabu, 02 Maret 2011

5800 x Dilihat

DPR-Pemerintah Mulai Bahas Revisi UU 17 Tahun 2008

(Jakarta, 2/3/2011) Pembahasan usulan revisi UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mulai dilakukan di DPR-RI. Presiden melalui Peraturan Presiden No 100 pada Desember 2010 lalu telah mengajukan usulan untuk dilakukannya revisi terhadap UU No 17 Tahun 2008 kepada DPR, guna mendukung kegiatan migas lepas pantai.

Dirjen Perhubungan Laut Kementrian Perhubungan Sunaryo di sela-sela rapat dengan Komisi V DPR-RI, Rabu (02/03) mengatakan, pasal-pasal yang perlu direvisi dalam UU No 17 Tahun 2008 ini adalah terkait dengan keberadaan kapal tertentu yang kita butuhkan, namun perusahaan perkapalan nasional belum mampu memproduksi kapal-kapal yang dibutuhkan untuk kegiatan migas lepas pantai.
Seperti diketahui, bahwa terhitung tanggal 7 Mei nanti atau 3 tahun sejak diberlakukannya azas cabotage yang mengacu pada pasal 341 UU No 17/2008, ada sebuah keharusan normatif bahwa kapal asing yang saat ini melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri harus berbendera Indonesia. Persoalannya, kapal-kapal yang bergerak di kegiatan hulu Migas yang sebagian berbendera asing sulit untuk menerima hal tersebut.
           
Sementara itu, industri galangan kapal nasional hanya mampu memproduksi kapal-kapal untuk tipe A dan B. Sedangkan untuk tipe C kita juga punya, namun belum mencukupi. Adapun untuk kapal-kapal tipe E kita tidak memiliki sama sekali. ‘’Sekitar 98 persen kapal yang dibutuhkan di Indonesia kita sudah punya, tapi untuk yang 2 persennya seperti kapal-kapal untuk kegiatan lepas pantai kita tidak memilikinya,’’ kata Sunaryo.

Sunaryo mengatakan, juga harus mengakui, meski jumlahnya sangat kecil, yaitu hanya 2 persen, tapi keberadaannya sangat dibutuhkan sekali untuk kegiatan eksplorasi lepas pantai. ‘’Itulah sebabnya pemerintah kemudian meminta aturan azas cabotage direvisi, sehingga kapal migas berbendera asing bisa beroperasi di Indonesia. Apalagi pemberlakukan azas cabotage efektif berlaku pada 7 Mei mendatang,’’ jelas Sunaryo.

UU No. 17 Tahun 2008 memang belum mengatur beberapa jenis kapal-kapal penunjang migas yang belum ada atau belum berbendera Indonesia antara lain, Kapal kegiatan survei seismik, geofisika dan geoteknik, kapal kegiatan pengeboran lepas pantai (jack up rig, semi submersible rig, deepwater drill ship dan tender assisting), kapal untuk kegiatan konstruksi lepas pantai (man working barge, derrick/ crane/pipe/cable/subsea dll) dan kapal untuk kegiatan penunjang lainnya operasi migas lepas pantai (anchor handling tug supply (AHTS) deep water >6000BHP, platform supply vessel, fast metal crew boat).

Sementara itu Dirjen Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Evita H. Legowo menyatakan apabila perubahan UU No. 17 Tahun 2008 tidak segera dilakukan akan menimbulkan permasalahan-permasalahan pada kegaitan migas lepas pantai serta mengganggu target produksi migas nasional dari lapangan migas offshore, terhitung mulai 7 Mei 2011 total sebesar 595.000 BOEPD yang terdiri dari minyak bumi sebesar 156.020 BOPD dan 2.549 MMSCFD gas bumi.

"Penemuan-penemuan dan peningkatan cadangan migas baru juga akan terkendala, seperti tertundanya pelaksanaan komitmen survei seismik sebesar USD 188 juta dan tertundanya pelaksanaan komitmen pengeboran sumur eksplorasi dari pengembangan migas sebesar USD 2.8 milyar.

Selain itu, lanjutnya, tanpa revisi UU tersebut, realisasi proyek-proyek tahun 2011 dalam rangka pengembangan lapangan migas lepas pantai di blok-blok Kalimantan Timur, Selat Makasar, Sumatera Tenggara , Natuna Blok A dan B, Pangkah , Kangean, Madura Barat, Lepas pantai Jawa BaratBagian Utara , Sampang dan Mahakam, juga akan tertunda.

Kepala BP Migas R Priyono menambahkan, dengan belum adanya kejelasan penerapan azas cabotage ini, kapal-kapal tersebut akan keluar dari Indonesia dan akibatnya berujung kepada penurunan produksi migas Indonesia. Pemberlakuan azas cabotage yang melarang kapal migas asing beroperasi di dalam negeri bakal menyebabkan penurunan produksi migas di Indonesia hingga 595.000 barel setara minyak per hari, atau USD 7,3 miliar di 2011.

‘’Memang angka-angka tersebut masih merupakan proyeksi. Namun penurunan produksi migas tersebut akan terjadi kalau masalah ini tidak diselesaikan sebagaimana mestinya. Untuk produksi minyak, kita bisa kehilangan sebanyak 156 ribu barel minyak per hari. Sedangkan untuk gas bisa hilang sebanyak 2,5 miliar juta kaki kubik per hari,’’ ungkapnya.

Untuk kegiatan migas, Indonesia masih membutuhkan sebanyak 138 kapal khusus di 2011. Sedangkan untuk 2011-2015 dibutuhkan sebanyak 235 kapal. Prioyono mengharapkan agar kapal-kapal khusus ini tidak keluar dari Indonesia.

Sementara itu Anggota Komisi V dari Fraksi PDIP Yosef Umar Hadi dan anggota Komisi V dari Fraksi PKS Ir Sigit Sosiantomo mengingatkan, sebaiknya tidak dilakukan perubahan pada UU namun cukup dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur lebih detail lagi mengenai kapal-kapal jenis apa yang harus sudah berbendera Indoensia dalam melakukan operasinya di dalam wilayah Indonesia dan mana yang berbendera asing. (PR)
 

Jajak Pendapat

Kementerian Perhubungan RI

Bagaimana proses pelayanan pengaduan di Kementerian Perhubungan?

Memuaskan Kurang Memuaskan Tidak Memuaskan
  MENU