4734 x Dilihat
DISKUSI LITBANG : MASIH BANYAK ROAD HUMP YANG TIDAK SESUAI STANDAR
(Jakarta, 31/05/2012) Road hump atau yang lebih dikenal sebagai “polisi tidur” di Indonesia digunakan sebagai instrumen pembatas kecepatan, fasilitas penyeebrang jalan, dan sebagai instrumen pengurang kecelakaan. Keberadaan road hump di Indonesia seringkali tidak memiliki standar yang ditetapkan karena umumnya dibangun swadaya oleh masyarakat. Padahal ketentuan road hump telah ditetapkan melalui KM 3/1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pengguna Jalan. Demikian catatan yang diambil moderator dalam Roundtable Discussion Badan Litbang dengan tema "Standar Pemasangan, Penempatan, dan Desain Road Hump" di Ruang Rapat Utama Badan Litbang Jakarta, Kamis (31/5).
Pelaksana Tugas Kepala Badan Litbang Kemenhub Denny Siahaan dalam sambutannya menyebutkan road hump sebagai salah satu alat pengendali kecepatan, mengurangi resiko kecelakaan, mengembangkan lingkungan dengan menggunakan ukuran-ukuran teknik lalu lintas tertentu. Upaya perlambatan lalu lintas perlu dilakukan dilakukan dengan perlambatan lalu lintas untuk mengurangi angka kecelakaan karena kecepatan tinggi melalui perangkat rekayasa lalu lintas yaitu melalui engineering, education(pendidikan), dan enforcement (penegakan hukum) yang diperluas dengan 5 E yaitu menambah mempengaruhi (encouregment) dan penanganan kedaduratan (emergency response) yang memaksa, “ tambahnya.
Muhammad Izy (peneliti Badan Litbang) dalam paparannya menyebutkan road hump adalah fasilitas yang dirancang dalam bentuk gangguan geometrik vertikal yang digunakan sebagai fasilitas menurunkan kecepatan kendaraan di jalan sebagai instrumen antisipasi kondisi jalan yang kurang menguntungkan. Identifikasi permasalahan Road Hump yang kerap muncul di Indonesia adalah bentuk fisik yang tidak seragam/tidak standar karena dikerjakan dengan swadaya masyarakat dengan tidak mengikuti kaidah-kaidah teknis yang tepat, seperti tidak landai (kecil dan tinggi) penempatan road hump tidak tegak lurus perkerasan jalan, tidak ada aliran air sehingga menjadi tanggul menahan air dsbnya. “Selain itu pemaasangan Road Humps biasanya tanpa didahului adanya rambu peringatan dan tanda-tanda tertentu pada permukaan jalan dan rambu peringatan jalan cembung. Selain itu, kerap belum ada ketentuan mengenai jarak tiap pengulangan penempatan road hump, “ lanjut Izy.
Tri Yuli Andaru (Kasubdit Audit dan Inspeksi Keselamatan Ditjen Perhubungan Darat) menyebutkan ketentuan jenis alat pengendali dan pengaman pemakai jalan yang ditentukan dalam KM 3/1994 terdiri dari pagar pengaman, cermin tikungan, delineator, pulau-pulau lalu lintas, dan pita penggaduh (rumble strip). “Selain itu bahan, bentuk, penempatan, kelengkapan juga telah tercantum di dalamnya, “ jelasnya.
Pada akhir diskusi, moderator menyebutkan beberapa catatan lain berdasarkan hasil diskusi yaitu pembinaan dan pengawasan teknis alat penyelenggaraan road hump perlu mendapat koreksi dari Ditjen Perhubungan Darat agar sesuai ketentuan. Perencanaan, pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan alat pengendali dan pengaman pemakai jalan dilakukan oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk; Pemerintah provinsi untuk jalan propinsi kecuali jalan provinsi yang berada dalam ibukota kabupaten/kota ; Pemerintah kabupaten/ Kota untuk Jalan kabupaten/kota, jalan provinsi yang berada dalam ibukota kabupaten /kota, jalan nasional yang berada dalam ibukota kabupaten/kota dengan persetujuan direktur jenderal Selain itu, standar pemasangan perlu dimantapkan untuk penyusunan RSNI.
Round Table Discussion ini menghadirkan pembicara Muhammad Izy (Peneliti Badan Litbang) dan Tri Yuli Andaru (Kasubdit Audit dan Inspeksi Keselamatan Ditjen Perhubungan Darat). Diskusi ini juga menghadirkan pembahas dari elemen Korlantas Polda Metro Jaya, Ditjen Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Standar Nasional. Acara ini dimoderatori oleh Ir. Widiatmoko (Kapuslitbang Darat). (ARI)