6765 x Dilihat
CAPETOWN TREATY PERLU DISOSIALISASIKAN KEPADA AHLI HUKUM INDONESIA
(Jakarta, 09/02/2012) Sosialisasi Cape Town Treaty kepada para ahli hukum Indonesia perlu dilakukan agar upaya penyelesaiaan permasalahan kepentingan internasional atas obyek pesawat udara di Indonesia dapat dipahami terutama kepada para sarjana hukum. Demikian disampaikan I Nyoman Suanda Santra selaku moderator dalam Roundtable Discussion yang bertema “ Pelaksanaan Kepentingan Internasional Atas Obyek Pesawat Udara Pasca Penetapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan” yang diselenggarakan di Ruang Rapat Utama Badan Litbang Jakarta, Kamis (9/2).
Kepala Badan Litbang Denny Siahaan menyebutkan bahwa sejak pulihnya ekonomi Indonesia pada tahun 2000, jumlah maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia semakin banyak dan terus mengalami peningkatan jumlah pesawat udara yang dioperasikan. “ Diperkirakan pertumbuhan pesawat udara oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dalam kurun waktu lima tahun ke depan, jumlah populasi pesawat udara yang terdaftar di Indonesia diperkirakan sebesar 1.282 unit pada tahun 2011 dan diperkirakan sebesar 2.308 unit pada tahun 2015. Selanjutnya pesawat udara yang beroperasi di bawah Aircraft Operation Certificate (AOC) 121 diperkirakan sebesar 501 unit armada, “ jelas Denny. Lebih lanjut Denny mengatakan peningkatan jumlah armada pesawat udara dibawah sertifikat operator penerbangan AOC 121 menunjukkan keseriusan maskapai penerbangan untuk mematuhi regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah bahwa kepemilikan atas pesawat udara oleh maskapai penerbangan sebanyak 10 unit yang meliputi 5 unit pesawat udara dikuasai dan 5 unit dimiliki.
Kepemilikan pesawat udara yang dikuasai maupun dimiliki memerlukan proses perjanjian dengan pihak kedua sebagai penyedia pesawat udara atau penyedia dana yang banyak melibatkan perusahaan luar negeri. Perjanjian antara maskapai penerbangan dan lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkan dapat dibebani dengan kepentingan Internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha. Pengaturan tersebut mengacu pada Konvensi Internasional dalam peralatan bergerak (Convention on international interest in mobile equipment) atau yang lebih dikenal Convention Cape Town dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara (Protocol to the convention on interest in mobile equipment on matters specific to Aircraft equipment).
Minda Mora (Peneliti Badan Litbang) memaparkan konvensi tentang kepentingan internasioal peralatan bergerak dan protokol pada Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara yang tercantum dalam Cape Town Treaty telah diratifikasi oleh 49 negara termasuk Indonesia. “ Kepentingan internasional atas objek pesawat udara dalam Cape Town Treaty yang termasuk didalamnya adalah Airframes yang disertifikasi untuk membawa paling sedikit 8 orang (termasuk kru) atau lebih dari 2750 kg (6063 lbs) kargo, helikopter yang disertifikasi untuk membawa paling sedikit 5 orang (termasuk kru) atau lebih dari 450 kg (992 lbs) kargo, dan jet engines yang memiliki setidaknya 1750 pounds thrust atau turbine/piston engines yang memiliki setidaknya 550 rated takeoff shaft horsepower, “jelas Minda.Lebih lanjut Minda menyebutkan The Cape Town Treaty telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 dan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bab IX yang membahas Kepentingan Internasional atas Objek Pesawat Udara.
Wismono Nitihardjo (INACA) menyebutkan dengan diratifikasinya Cape Town Convention dan Protocol pada tanggal 20 Februari 2007 melalui Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2007 serta diundangkan dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para pihak dalam komvensi ini. “Hal ini berakibat pada penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi investor di industri angkutan udara Nasional yang ditandai dengan pertumbuhan industri angkutan udara nasional, baik dari sisi pertumbuhan jumlah pesawat maupun pertumbuhan jumlah penumpang, dan cargo, “ tambahnya.
Moderator berkesimpulan bahwa dengan penyelesaian masalah internasional atas objek pesawat udara berdampak positif terhadap pengadaan jumlah pesawat dan pertumbuhan industri jasa angkutan udara di Indonesia. “Untuk itulah regulator perlu melakukan sosialisasi terkait Undang-Undang penerbangan khususnya terkait Cape Town Convention terhadap ahli hukum di Indonesia terutama sarjana baru yang belum menguasai dan perlu melakukan penyempurnaan terhadap peraturan kepentingan Indonesia atas objek pesawat lainnya, “lanjutnya. Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa ratifikasi Cape Town Convention yang telah ditindaklanjuti dengan Keppres No. 8 tahun 2007 dan ditampung dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan berdampak posotif terhadap kelancaran penyelesaian sewa guna pesawat udara.
Diskusi ini menghadirkan pembicara Minda Mora (Peneliti Badan Litbang), Diding Sunardi (Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara,Ditjen Hubud), Adrian Azhar (Garuda Indonesia), Wismono Nitihardjo (INACA) dan Prof.Dr.H.K.Martono, SH,LLM. Turut hadir sebagai pembahas Roundtable Discussion adalah Pahala (IAMSA), Capt. Dwiyanto (Lion Air), Hasfriansyah (Ketua Federasi Pilot Indonesia), Capt. Manotar Napitupulu (Penasehat Federasi Pilot Indonesia), Ir. Joseph Tumenggung (KNKT), dan Suratman (Indonesia Air Asia). Diskusi ini dimoderatori oleh I Nyoman Suanda Santra (Kapuslitbang Udara). (ARI)