4927 x Dilihat
Pelayaran Rakyat Dorong Konektivitas Nasional
Membayangkan dua pertiga wilayah Indonesia merupakan perairan, membuka mata betapa luasnya laut kita. Fakta Indonesia kaya bukanlah mitos. Data dari United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2017 menyebutkan bahwa perairan Indonesia menjadi habitat bagi 76 persen terumbu karang dan 37 persen ikan karang dunia.
Laut bahkan menjadi penopang ekonomi masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional menggantungkan hidupnya dari laut. Mereka tersebar di 10.666 desa pesisir yang berada di 300 dari total 524 kabupaten dan kota se-Indonesia.
Selain itu, hasil laut Indonesia menyumbangkan 10 persen kebutuhan perikanan global. Laut Indonesia juga berperan penting bagi berbagai kegiatan ekonomi seperti bisnis perikanan, pelayaran, maupun pariwisata. Kelancaran roda perekonomian tersebut dapat terwujud salah satunya karena penyelenggaraan transportasi yang baik.
Mendorong percepatan roda perekonomian, pemerintah menyelenggarakan tol laut. Pengangkutan logistik melalui laut secara terjadwal mampu menekan disparitas harga di wilayah Timur Indonesia. Tol laut akan lebih besar dampaknya jika didukung dengan kapal pelayaran rakyat (Pelra) yang dapat menjangkau wilayah terdalam.
Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah membangun kapal pelra GT 35 dilakukan untuk menyediakan sarana armada kapal demi meningkatan pelayanan transportasi laut ke daerah-daerah yang belum terlayani angkutan kapal perintis. Pembangunan kapal pelra tersebut juga merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam meningkatkan usaha ekonomi pelayaran rakyat baik untuk galangan tradisional maupun masyarakat lokal. Oleh karena itu, dalam pengerjaannya Kementerian Perhubungan mengusulkan program padat karya sebagai upaya memberikan lapangan pekerjaan kepada pekerja lokal di sekitar galangan.
Pada April 2018 Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (Menhub) meresmikan 24 kapal pelra yang telah selesai dibuat di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar, Sulawesi Selatan. Makassar terpilih sebagai tempat peresmian karena kota ini merupakan amplifier wilayah Indonesia Timur.
Seluruh kapal tersebut dihibahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk dimanfaatkan sebagai angkutan barang maupun penumpang serta pariwisata. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan konektivitas ke wilayah-wilayah terdalam. Salah satu penerima hibah yaitu Kabupaten Minahasa Selatan mengaku akan memanfaatkan hibah ini sesuai dengan tujuan pemerintah. Sedangkan daerah penerima hibah lainnya, Pemprov DKI Jakarta, mengaku akan memanfaatkan kapal hibah ini sebagai angkutan transportasi laut di Kepulauan Seribu.
Daerah yang mendapatkan kapal ini telah memenuhi persyaratan berupa menyampaikan surat permohonan menerima hibah disertai proposal yg berisi kondisi kepulauan atau lokasi, kebutuhan armada kapal, potensi penumpang, lokasi operasi kapal dan kemampuan sumber daya manusia. Selain itu, daerah juga diwajibkan menyampaikan surat penyataan kesanggupan mengelola kapal hibah.
Kementerian Perhubungan mewajibkan kepada pemerintah daerah penerima hibah agar mengalokasikan anggaran operasional kapal salah satunya untuk perawatan kapal. Pemda juga wajib melaporkan kegiatan operasional kapal hibah ini kepada Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut. Selanjutnya Ditjen Perhubungan Laut akan melakukan monitoring ke lokasi pemda penerima hibah untuk mengetahui langsung kemanfaatan kapal ini.